Diet, (Besok) Saja!
19.23Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak berat badanku tiba-tiba naik sepuluh kilogram hanya dalam tiga bulan. Semuanya terjadi begitu cepat setelah menjalani terapi hormon — sesuatu yang waktu itu terasa seperti solusi, tetapi kemudian meninggalkan jejak panjang di tubuh dan pikiran. Tidak ada yang benar-benar menjelaskan efek sampingnya, sehingga rasa kecewa bercampur marah kadang masih muncul. Rasanya seperti kehilangan kendali atas tubuh sendiri, dan sulit sekali menerima bahwa perubahan itu nyata.
Sampai sekarang, beratku masih lebih dari ideal — sekitar tiga belas kilogram di atas angka yang seharusnya. Mungkin tidak parah, tapi cukup untuk membuat cermin terasa seperti musuh. Aku tahu, sebagian karena kebiasaan ngemil dan alasan kecil yang terus berulang: “nanti saja dietnya mulai besok.”
Ironisnya, justru di masa ketika informasi kesehatan mudah diakses, tubuh terasa semakin sulit diajak kompromi.
Sekarang dunia maya penuh dengan istilah baru tentang gaya hidup sehat: intermittent fasting, diet keto, dry fasting, dan berbagai metode yang menjanjikan keajaiban.
Semua tampak sederhana di layar, tetapi kenyataannya tidak selalu sesederhana itu.
Intermittent fasting (IF), misalnya, adalah pola makan yang memberi waktu bagi tubuh untuk beristirahat dari proses pencernaan. Cara ini bukan semata menahan lapar, tapi memberi kesempatan bagi tubuh untuk menggunakan cadangan energi dari lemak. Pola paling populer adalah 16:8, artinya berpuasa 16 jam dan makan dalam jendela waktu 8 jam. Riset menunjukkan bahwa IF dapat meningkatkan sensitivitas insulin, memperbaiki kadar kolesterol, dan membantu menurunkan berat badan — asalkan tetap disertai asupan bergizi saat waktu makan tiba.
Kemudian ada diet keto, yang membuat tubuh “beralih bahan bakar”. Dengan mengurangi karbohidrat hingga sangat rendah dan meningkatkan asupan lemak sehat, tubuh masuk ke fase ketosis, yaitu saat lemak diubah menjadi keton sebagai sumber energi utama. Pada banyak orang, ini efektif menurunkan berat badan dan menstabilkan gula darah. Namun adaptasinya bisa berat: beberapa hari pertama sering muncul gejala keto flu — lemas, pusing, atau sulit konsentrasi — sebelum tubuh benar-benar beradaptasi.
Lain lagi dengan dry fasting, atau puasa tanpa makan dan minum dalam jangka waktu tertentu. Pendukungnya percaya bahwa kondisi tanpa asupan cairan membuat sel-sel tubuh mempercepat proses autophagy, yaitu pembersihan dan peremajaan sel secara alami. Namun metode ini tergolong ekstrem dan harus dijalankan dengan pengawasan, karena dehidrasi bisa menjadi risiko serius. Dalam konteks medis, manfaatnya belum sepenuhnya terbukti secara luas, meski beberapa penelitian awal menunjukkan potensi positif pada sistem kekebalan dan metabolisme.
Masalahnya, seiring usia bertambah, metabolisme kita memang tidak lagi secepat dulu. Setelah melewati usia 50 tahun, tubuh mengalami banyak perubahan biologis.
Massa otot menurun secara alami — proses ini disebut sarcopenia. Otot adalah jaringan aktif yang membakar kalori, jadi ketika jumlahnya berkurang, pembakaran energi juga menurun. Akibatnya, meski pola makan sama, berat badan lebih mudah naik.
Selain itu, hormon-hormon yang dulu menjaga keseimbangan tubuh ikut berubah. Pada perempuan, penurunan estrogen setelah menopause membuat lemak lebih mudah menumpuk di area perut. Pada laki-laki, penurunan testosteron berpengaruh pada distribusi lemak dan massa otot. Fungsi tiroid yang melambat pun bisa ikut memperlambat metabolisme. Semua ini membuat tubuh terasa “berbeda” dibanding satu atau dua dekade sebelumnya.
Faktor lain juga tidak kalah penting: kualitas tidur yang menurun, stres kronis, konsumsi gula tersembunyi dalam makanan olahan, serta berkurangnya aktivitas fisik. Semua berkontribusi pada resistensi insulin — kondisi ketika tubuh sulit merespons hormon insulin dengan baik, sehingga gula darah mudah naik dan lemak makin mudah disimpan. Kombinasi ini dikenal sebagai gangguan metabolik, yang dapat mencakup tekanan darah tinggi, kadar lemak darah tidak normal, kadar gula yang tinggi, hingga penumpukan lemak hati.
Gangguan metabolik tidak hanya membuat penurunan berat badan menjadi sulit, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan peradangan kronis yang bisa mempercepat proses penuaan.
Dalam kondisi seperti ini, banyak orang akhirnya memilih untuk “berdamai dengan tubuhnya” dengan cara yang salah — menerima kegemukan sebagai hal alami, atau bahkan simbol kesejahteraan. Padahal, tubuh di usia 50-an justru membutuhkan perhatian ekstra: bukan sekadar agar langsing, tetapi agar tetap sehat, ringan, dan mampu bergerak tanpa keluhan.
Tubuh memang berubah, tapi itu bukan akhir dari perjalanan. Mungkin, diet yang paling realistis di usia ini bukanlah tentang seberapa cepat kita bisa kurus, melainkan seberapa konsisten kita bisa menjaga keseimbangan antara makan, bergerak, dan beristirahat.
Diet bukan tentang hukuman, tapi bentuk kasih pada tubuh yang telah bekerja keras puluhan tahun. Mungkin kita tidak perlu menunggu “besok” untuk memulai — cukup mulai dengan langkah kecil hari ini: sedikit lebih sadar, sedikit lebih sabar, dan sedikit lebih sayang pada diri sendiri.
foto : Koleksi pribadi bersama sahabat

0 comments