Bantuan Psikologis Saat Bencana; Save Sumatra
22.41Situasi darurat kemanusiaan: tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis
Bencana — gempa, tsunami, longsor, banjir, erupsi, konflik — secara nyata membawa kerugian fisik: rumah hancur, korban luka atau meninggal, fasilitas rusak, akses terhadap kebutuhan dasar terganggu. Namun dampak terselubung yang sering kurang diperhatikan adalah luka psikologis: traumatisasi, stress akut, rasa ketidakamanan, kehilangan, kebingungan, ketidakpastian masa depan. Buku karya Gerard Jacobs mengingatkan bahwa “cedera” akibat bencana tidak hanya bersifat fisik — dampak psikologis bisa “menyelinap” dan menimbulkan kerusakan jangka panjang jika tidak segera ditangani.
Tulisan ini mengacu pada buku Community-Based Psychological First Aid (PFA berbasis komunitas) karya Gerard Jacobs, bertujuan untuk memanfaatkan ketangguhan manusia (resilience), mereduksi sistem stress, dan membantu individu maupun komunitas pulih.
Dalam konteks bencana terkini di Pulau Sumatra - khususnya Sumut, Sumbar dan Aceh - tentunya banyak masyarakat terdampak secara fisik, rusak rumah atau kehilangan anggota keluarga, pendekatan semacam PFA ini sangat relevan. Karena selain pemenuhan kebutuhan dasar (tempat tinggal, makanan, air, kesehatan fisik), dukungan psikososial menjadi bagian penting dari respons awal.
Mengapa Pertolongan Psikologis Awal Penting
Beberapa alasan mendasar mengapa bantuan psikologis sejak dini sangat penting di masa darurat:
- Melindungi dari risiko psikologis lanjutan: Belum semua orang menunjukkan trauma berat langsung; tetapi stres akut, rasa takut, kebingungan, kehilangan, bisa berkembang menjadi gangguan berat, seperti depresi, kecemasan, atau bahkan PTSD jika tidak ditangani. PFA membantu mencegah kondisi seperti itu.
- Membantu mengembalikan rasa aman dan kontrol: Pada situasi kacau, korban sering merasa kehilangan kendali terhadap hidup mereka. Dukungan psikologis awal membantu mereka merasa dipedulikan, didengar, dan mulai memperoleh kembali rasa bahwa hidup mereka — dan pilihan mereka — masih bisa dikendalikan.
- Memfasilitasi akses layanan dan pemenuhan kebutuhan dasar: PFA tidak melulu soal “curhat” — tetapi juga membantu memenuhi kebutuhan mendesak (makanan, air, tempat tinggal, kesehatan), menghubungkan korban dengan layanan bantuan, keluarga atau komunitasnya.
- Membangun kembali koneksi sosial dan komunitas: Bencana dapat memecah struktur sosial — keluarga terpisah, komunitas tercerai-berai. Melalui bantuan psikologis berbasis komunitas, solidaritas, dukungan sosial, dan rasa kebersamaan bisa diperkuat kembali.
Karena itu, pertolongan psikologis awal bukanlah “opsional” — melainkan bagian integral dari respons kemanusiaan.
Prinsip dan Kerangka Dasar PFA (Berdasarkan Jacobs dan PFA Internasional)
Menurut Jacobs — dan sejalan dengan pedoman internasional seperti dari World Health Organization (WHO) — PFA adalah intervensi awal dan sementara, bukan terapi klinis atau konseling jangka panjang.
Beberapa karakteristik penting:
- Tidak memerlukan pelatihan psikolog profesional: Siapa saja — relawan, pekerja kemanusiaan, warga komunitas — setelah mendapat orientasi dasar bisa menerapkan PFA.
- Adaptif terhadap budaya dan kondisi komunitas: Karena berbasis komunitas, PFA dapat disesuaikan dengan nilai, kebiasaan, dan struktur sosial lokal.
- Fokus pada kebutuhan manusiawi dasar dan stabilitas psikologis: Memberi rasa aman, menenangkan, mendengarkan, membantu pemenuhan kebutuhan dasar, memberi informasi, menghubungkan ke layanan — bukan mengeksplorasi trauma mendalam atau melakukan terapi mendetail.
- Memperhatikan self-care bagi penolong/helping community: Mereka yang membantu juga butuh menjaga kesehatan mentalnya agar tidak kelelahan atau stres — penting untuk keberlanjutan bantuan.
Secara singkat, PFA beroperasi dengan prinsip “Look – Listen – Link” / “Lihat – Dengarkan – Hubungkan”: menilai kebutuhan & bahaya, mendengarkan dengan empati, dan menghubungkan ke layanan/dukungan/keluarga/komunitas
Langkah-langkah Psikologis Awal: Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?
Berdasarkan panduan Jacobs dan literatur PFA, berikut langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan — oleh relawan, anggota komunitas, keluarga, atau siapa saja peduli — untuk membantu korban bencana di Sumatra sekarang.
- Identifikasi situasi dan kebutuhan dasar (Look)
- Segera setelah bencana, perhatikan siapa saja yang terdampak — korban luka, yang kehilangan rumah, yang kehilangan anggota keluarga, pengungsi, atau mereka yang kelihatan bingung, ketakutan, sangat sedih.
- Pastikan kebutuhan dasar dipenuhi: tempat berlindung, makanan, air bersih, kesehatan fisik — jika belum tersedia, bantu fasilitasi.
- Perhatikan kondisi keselamatan: apakah lingkungan sudah aman, apakah ada bahaya tambahan (bangunan rubuh, longsor, gempa susulan, fasilitas rusak).
- Dengarkan dengan empati dan hadir sebagai pendukung (Listen)
- Jika bertemu korban, perkenalkan diri dengan ramah dan jelaskan bahwa Anda ingin membantu — ini penting untuk membangun rasa aman dan kepercayaan.
- Dengarkan tanpa menghakimi, memaksa, atau menekan mereka untuk bercerita mendetail. Biarkan mereka mengungkap sesuai kenyamanan mereka. PFA bukan terapi mendalam, melainkan dukungan awal.
- Tawarkan kenyamanan: kehadiran, kata-kata lembut, senyuman atau sapaan, kontak mata dan bahasa tubuh terbuka (sesuai budaya setempat) — semua ini membantu menenangkan secara emosional.
- Tolong secara praktis dan hubungkan ke dukungan (Link)
- Bantu mereka mendapatkan kebutuhan dasar jika belum tersedia: makanan, air, selimut, tempat aman, kesehatan, informasi — bantu koordinasi dengan lembaga kemanusiaan, relawan, atau petugas
- Bantu mereka terhubung dengan keluarga, teman, atau komunitas — banyak korban trauma merasa aman ketika mereka bisa bertemu atau setidaknya berkomunikasi dengan orang-orang terdekat.
- Jika seseorang menunjukkan reaksi berat (panic akut, sangat kesedihan, putus asa, gejala mencolok) — usahakan mereka mendapatkan layanan lanjutan: tenaga kesehatan mental, konseling, atau kelompok dukungan. Panduan Jacobs memberikan bagian khusus tentang “kapan dan bagaimana merujuk” dalam PFA.
- Memperhatikan kelompok rentan: anak-anak, lansia, penyintas luka berat, penyintas kehilangan besar
- Perhatian khusus pada anak-anak — mereka bisa lebih rentan terhadap trauma, perasaan aman, kehilangan struktur. PFA komunitas menekankan bahwa intervensi harus disesuaikan dengan usia, kondisi, budaya.
- Lansia atau penyintas dengan kondisi kesehatan kronis juga harus dipantau — pastikan kebutuhan fisik dan emosional mereka diperhatikan.
- Perlindungan terhadap penyintas dan sukarelawan: menjaga etika, privasi, dan self-care
- Informasi yang dibagikan harus dengan persetujuan, menghormati privasi, dan sesuai konteks budaya/komunitas.
- Relawan/pemberi bantuan harus menjaga diri sendiri — kecenderungan kelelahan, stres sekunder bisa muncul. Buku Jacobs membahas pentingnya self-care bagi pendukung agar tidak burnout.
- Mengaktifkan komunitas sebagai penolong bersama: pendekatan berbasis komunitas (community-based care)
- Libatkan tokoh lokal, pemuka agama, pemuda, ibu-ibu, relawan — siapa saja yang dikenal dan dipercaya di komunitas. Dengan pendekatan komunitas, dukungan psikososial lebih mudah dijangkau, berkelanjutan, dan relevan dengan budaya setempat.
- Koordinasi dengan lembaga kemanusiaan, instansi sosial, pemerintah — agar dukungan lebih terstruktur dan kebutuhan dasar & psikososial bisa terpenuhi secara komprehensif.
Prioritas Tindakan: Apa yang Harus Dikerjakan Sekarang
Dalam situasi bencana besar seperti di Sumatra Utara sekarang, ada prioritas tindakan psikososial yang mendesak:
- Pendataan korban dan kebutuhan dasar: siapa yang kehilangan rumah/keluarga/teman; siapa yang luka; siapa yang butuh pengungsian; siapa yang menunjukkan kondisi emosional berat.
- Mendirikan pos bantuan psikososial di lokasi pengungsian / shelter / posko bencana: dengan relawan komunitas atau petugas kemanusiaan yang dilatih dasar PFA — agar mudah dijangkau masyarakat.
- Memberikan informasi jelas dan benar tentang situasi, bantuan, layanan kesehatan & psikososial — ketidakpastian dan rumor memperburuk kecemasan. Informasi yang jelas membantu rasa aman dan kontrol.
- Membangun koneksi sosial & dukungan komunitas: memastikan korban bisa berkomunikasi dengan keluarga, tetangga, teman — tidak dibiarkan sendirian.
- Monitoring dan identifikasi mereka yang perlu layanan lebih lanjut: anak-anak, lansia, korban kehilangan berat, orang dengan gangguan kesehatan, atau mereka menunjukkan gejala trauma berat.
Siapa yang Bisa Membantu?
· Setiap orang, Komunitas, dan Relawan
Kelebihan dari pendekatan PFA komunitas adalah sederhana dan dapat dilakukan oleh siapa saja — tidak harus profesional psikologi.
· Relawan & anggota komunitas: setelah orientasi dasar PFA, mereka bisa hadir sebagai pendengar, membantu pemenuhan kebutuhan dasar, menemani korban, membantu informasi, menjaga lingkungan posko tetap nyaman dan aman.
- Keluarga dan tetangga korban: keberadaan anggota keluarga/petugas komunitas sebagai pendengar pertama sangat penting — kehadiran orang dekat bisa memberikan rasa aman, stabilitas, dan kekuatan emosional.
- Pemuka masyarakat, tokoh agama, pemuda, ibu-ibu, relawan lokal: ikut mengorganisir dukungan komunitas, memfasilitasi komunikasi, distribusi bantuan, menjaga solidaritas — sesuai prinsip community-based PFA yang konsisten dengan budaya lokal.
- Organisasi kemanusiaan / NGO / instansi pemerintah: mendukung logistik, layanan kesehatan fisik & mental, koordinasi, pelatihan PFA, rujukan ke layanan profesional bila dibutuhkan.
Tantangan dan Perhatian
Meskipun PFA berbasis komunitas relatif sederhana, ada beberapa tantangan dan hal yang perlu diperhatikan:
- Kebutuhan pelatihan dasar bagi relawan — meskipun tidak memerlukan pendidikan psikologi formal, relawan tetap perlu orientasi agar intervensi dilakukan dengan tepat dan etis.
- Budaya lokal dan sensitivitas sosial — intervensi harus disesuaikan dengan norma, tradisi, bahasa, dan situasi komunitas agar diterima.
- Batas antara PFA dan terapi profesional — PFA hanyalah intervensi awal; jika korban menunjukkan gejala psikologis berat atau trauma mendalam, harus dirujuk ke layanan kesehatan mental profesional.
- Risiko burnout bagi penolong — relawan atau sukarelawan bisa mengalami kelelahan, stress sekunder, sehingga penting ada rotasi dan self-care.
Kesimpulan: Pentingnya “Tangan yang Peduli” di Saat Krisis
Bencana besar seperti yang terjadi di Tapanuli, Padang dan Aceh akhir tahun 2025 ini, tak hanya menghancurkan fisik — tetapi juga mengguncang jiwa, komunitas, harapan, rasa aman. Intervensi psikologis awal melalui pendekatan seperti yang diuraikan dalam Community-Based Psychological First Aid menjadi sangat krusial.
Dengan tindakan sederhana: mendengarkan, menenangkan, membantu kebutuhan dasar, memberikan rasa aman, memfasilitasi koneksi sosial — banyak korban akan merasakan bahwa mereka tidak sendiri, bahwa ada harapan. Dan ketika komunitas bersama-sama memberi dukungan, ketangguhan kolektif bisa muncul, memperkuat pemulihan secara bersama.
Sebagai profesional di bidang psikologi — atau sebagai anggota masyarakat peduli — kita bisa berperan besar dalam membantu penyintas tidak hanya pulih secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial. Sekecil apapun kontribusi kita — mendengarkan, hadir, membantu, memberi informasi — bisa menjadi “pertolongan pertama” yang penting.
Semoga bermanfaat sebagai panduan sederhana bagi para relawan, komunitas, atau siapa saja peduli membantu korban bencana di Sumatra Utara atau daerah lain.
Daftar bacaan:
Epidemic Control Toolkit+2Pan American Health Organization+2

0 comments