Tulisan ini, bagian dari proses perenungan terhadap beberapa kasus klien yang saya tangani dalam praktek klinis. Mungkin banyak yang sudah membahasnya seiring semakin banyak kasus yang terjadi. Jika kamu pernah mengalami atau melihat kawan remajamu terjebak dalam isu ini, sebaiknya juga membantu edukasi dengan mengirim tulisn ini bahkan jika bisa memberikan dukungan untuk menghadapinya.
**
Pernah nggak sih kamu merasa hubungan yang kamu jalani bikin capek hati, lelah pikiran, bahkan sampai kehilangan semangat hidup? Bisa jadi, kamu sedang berada di dalam toxic relationship — hubungan yang bukannya bikin bertumbuh, malah bikin mental dan emosi tergerus sedikit demi sedikit.
Banyak orang berpikir, hubungan toxic itu hanya soal pacaran. Padahal, kenyataannya bisa terjadi di pertemanan, lingkungan kampus, bahkan dalam hubungan kerja. Yang bikin rumit, sering kali kita nggak sadar sudah terjebak terlalu lama. Pada hubungan suami istri relasi ini dapat berubah menjadi isu kekerasan dalam rumah tangga. Kali ini kita hanya akan bahas fenomena pada remaja dan dewasa awal pranikah.
Apa sih Toxic Relationship itu?
Secara sederhana, toxic relationship adalah hubungan di mana salah satu atau kedua pihak sering kali merasa tertekan, tidak aman, dan lelah secara emosional. Menurut para ahli komunikasi interpersonal seperti Glass (1995), hubungan ini ditandai oleh adanya kontrol berlebihan, manipulasi emosi, gaslighting (membuat orang meragukan persepsinya sendiri), dan perilaku yang mengikis harga diri.
Kalau hubungan sehat itu ibarat taman yang dirawat bersama, hubungan toxic itu seperti kebun yang dibiarkan penuh hama — makin lama makin sulit dibersihkan, apalagi kalau kita nggak punya alat yang tepat.
Kenapa Remaja dan Dewasa Awal Rentan?
Remaja dan dewasa awal berada di fase hidup yang penuh pencarian. Menurut teori psikososial Erik Erikson, remaja berada pada tahap identity vs role confusion — masa mencari jati diri. Sementara dewasa awal berada pada tahap intimacy vs isolation, di mana mereka mulai mencari hubungan dekat yang bermakna.
Di usia ini, keinginan untuk diterima, diakui, dan dicintai sangat kuat. Ditambah lagi pengaruh peer pressure, media sosial, dan kebutuhan validasi yang tinggi, membuat batas antara hubungan sehat dan tidak sehat sering kali kabur.
Faktor Psikologis yang Memperparah Situasi
Beberapa orang lebih mudah terjebak hubungan toxic karena faktor psikologis tertentu:
- Kecemasan dan Overthinking
Menurut Cognitive Behavioral Theory (Beck, 1976), orang yang sering berpikir negatif atau berasumsi buruk tentang diri sendiri cenderung sulit mengambil keputusan tegas. Mereka bisa takut kehilangan meski hubungannya menyakitkan. Pada kasus klinis yang saya tangani, seringkali mereka memiliki pola pikir negativity, black & white, catastrophic, dan lain-lain.
- Daya Resiliensi Rendah
Resiliensi, atau kemampuan bangkit dari tekanan, menurut Masten (2001) adalah kunci menghadapi tantangan hidup. Kalau kemampuan ini rendah, orang akan kesulitan keluar dari hubungan yang melemahkan. “Bagaiamana yah, aku memang pantass diperlakukan demikian” seringkali kalimat ini menunjukkan bahwa mereka menempatkan diri sebagai korban dan tak berdaya.
- Harga Diri Rendah
Rosenberg (1965) menyebut bahwa self-esteem yang rendah membuat seseorang merasa “tidak pantas” mendapatkan hubungan yang lebih baik, sehingga mereka rela bertahan meski terluka.
“Aku tahu ini tidak benar, tapi tak sanggup untuk berpisah dengan orang yang jelas-jelas membawa diriku pada kesedihan ini”, ungkapan umum terjadi pada seorang yang terjebak dalam toxic relationship.
Siklus Hubungan Toxic
Psikolog Lenore E. Walker (1979) menjelaskan bahwa hubungan toxic sering berputar dalam siklus berulang:
- Tension Building
Ketegangan mulai muncul. Mungkin dari kritik, sindiran, atau perlakuan dingin. - Incident
Terjadi ledakan emosi — pertengkaran besar, makian, atau kekerasan. - Reconciliation
Pelaku minta maaf, memberi janji manis, atau bersikap sangat baik untuk sementara waktu. - Calm
Hubungan terasa tenang lagi, seolah semua masalah selesai. Tapi ini hanya sementara, dan siklus akan kembali lagi.
Yang bikin orang sulit lepas adalah adanya trauma bonding — keterikatan emosional yang justru terbentuk karena pola naik-turun ini.
Tanda-Tanda Kamu Sedang di Hubungan Toxic
Kalau beberapa poin ini terasa familiar, mungkin saatnya mengevaluasi hubunganmu:
- Kamu merasa harus berhati-hati terus saat bicara.
- Kamu sering merasa bersalah meski tidak salah.
- Kamu merasa lelah emosional setelah berinteraksi.
- Kamu kehilangan rasa percaya diri sejak bersama orang ini.
- Kamu takut kehilangan, tapi juga takut bertahan.
Dampak yang Nggak Boleh Diremehkan
Hubungan toxic bukan cuma soal hati yang patah. Dampaknya bisa serius:
- Mental: Kecemasan, depresi, gangguan tidur.
- Fisik: Sakit kepala, gangguan pencernaan, kelelahan kronis.
- Sosial: Menjauh dari teman dan keluarga, isolasi sosial.
Kalau dibiarkan, ini bisa memengaruhi studi, karier, bahkan masa depanmu.
Bagaimana Mencegahnya?
Kabar baiknya, toxic relationship bisa dicegah. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Kenali Diri dan Batasan Pribadi
Belajar self-awareness itu penting. Daniel Goleman (1995) menyebutnya sebagai bagian dari kecerdasan emosional. Kenali apa yang membuatmu nyaman dan tidak nyaman, lalu buat batas yang jelas. - Bangun Resiliensi
Latih kemampuan menghadapi masalah dengan teknik coping skills. Mindfulness, olahraga, dan journaling bisa membantu pikiran tetap jernih. - Belajar Literasi Hubungan Sehat
Hubungan yang baik itu saling menghargai, saling mendukung, dan tidak saling mengontrol. Buku Boundarieskarya Cloud & Townsend (1992) bisa jadi referensi bagus. - Cari Support System
Jangan hadapi sendirian. Ceritakan pada teman yang bisa dipercaya, keluarga, atau konselor. - Bijak di Dunia Digital
Di era sekarang, toxic control bisa muncul lewat cyberstalking atau pengawasan berlebihan di media sosial. Atur privasi dan batasi akses orang lain terhadap akunmu jika perlu.
Kalau Sudah Terlanjur Terjebak?
Keluar dari hubungan toxic memang nggak mudah, apalagi kalau sudah terikat secara emosional. Tapi ingat, kamu punya hak untuk bahagia. Langkah awal yang bisa dilakukan:
- Akui bahwa hubungan ini tidak sehat.
- Rencanakan cara keluar dengan dukungan orang yang aman.
- Pertimbangkan bantuan profesional untuk memulihkan diri.
Proses ini mungkin menyakitkan di awal, tapi akan menyelamatkanmu dalam jangka panjang.
Penutup
Toxic relationship itu seperti racun. Kadang kita nggak sadar sedang meminumnya sedikit demi sedikit, sampai suatu hari kita merasa lemas dan sakit. Remaja dan dewasa awal harus ekstra waspada karena fase hidup ini penuh pencarian dan pembuktian diri.
Ingat, hubungan yang sehat bukan hanya soal cinta, tapi juga tentang rasa aman, saling menghargai, dan bertumbuh bersama. Kalau kamu merasa hubunganmu lebih banyak membuat sakit daripada bahagia, itu tanda untuk berhenti sejenak, melihat dari luar, dan bertanya: “Apakah ini hubungan yang layak untukku?”
Kamu berhak punya hubungan yang sehat. Dan mencegah lebih baik daripada menyembuhkan
Photo by Brooke Cagle on Unsplash