Belajar memaknai Kegagalan

00.45

Siapa yang tak mengenal pak Helmy Yahya, beliau dikenal cerdas, layaknya sebuah ensiklopedia berjalan. Konon beliau sedang mempersiapkan buku untuk bercerita tentang kisah hidupnya. Menurut penuturannya, ia telah belajar dari semua pengalaman hidupnya utamanya dari segala hal yang awalnya dirasakan sebagai kegagalan. Orang mengenal beliau sebagai penerus raja quis, Ani Sumadi, tapi kita juga tahu beliau 3 x gagal pilkada, diberhentikan sebagai direktur TVRI lalu menjadi seorang youtuber dan pembicara yang handal. Bukannya “menghilang dari peredaran” karena dipermalukan, beliau justru semakin terkenal, produktif dan memperlihatkan kreativitasnya sebagai seorang publik figur.

“Rencana terbaik Allah belum tentu sama dengan rencana terbaik saya, demikian juga rencana terbaik saya belum tentu sama dengan rencana terbaik Allah,”ucapnya dalam ruang zoom tentang personal branding yang diselenggarakan oleh Book Writing Camp ke 16  beberapa waktu lalu.  Saya berharap dapat membaca bukunya kelak. Saya tertarik dengan bagaimana orang-orang dapat berhasil bukan karena keberuntungan, tapi justru ketika ia sanggup bertahan dan bangkit dari kegagalan.

Saya rasa, kita perlu belajar untuk memaknakan sebuah kegagalan dalam konteks lingkungan dan sikap kita terhadapnya dengan cara yang berbeda. Teringat pada kisah keledai yang ditimbun tanah. Kejadian yang kita anggap malang, tidak selalu berakhir buruk. Keledai saja mampu memanfaatkan setiap timbunan tanah yang akan menguburnya untuk melompat dari lubang dan menemukan kebebasan hidupnya. Keledai menggambarkan sosok lugu, namun ternyata mampu survive, tentu manusia memiliki lebih potensi diri dari sekedar mengikuti dorongan untuk menyelamatkan diri. 

Alih-alih terpuruk karena masalah, seseorang yang sukses bukan semata memerlukan pengetahuan tetapi juga kecermatan untuk memanfaatkan peluang ketika menghadapi tantangan hidup sesungguhnya. Bisa jadi lingkungan tidak lagi kondusif untuk pengembangan diri kita, maka keberanian untuk menemukan belantara baru membuka peluang untuk menjadi seseorang yang jauh lebih baik. Ada istilah untuk selalu berani berpetualang, keluar dari zona nyaman sebenarnya memberi kita peluang untuk terus belajar dan belajar.

Mungkin akan ada orang yang menyangka kegagalan sebagai tanda kecerobohan kebodohan, kemalangan, aib dan sebagainya. Tergantung kita bila mau memutar situasinya menjadi titik balik bagi sikap hidup yang lebih matang. Kegagalan dapat membentuk  ketangguhan, tantangan bahkan sebuah anugrah. 

Siapa diri kita saat ini, apa kekuatan yang kumiliki, mau menjadi apa, hal baik apa yang kumiliki bisa jadi dibentuk oleh situasi buruk di masa lalu. Orang manajemen menilai itu sebagai kekuatan personal, nilai pribadi atau personal branding. Dalam kajian psikologi kepribadian, kekuatan personal merupakan hasil proses bentukan sistemik antara the self, sang diri dengan lingkungan. 

Personal brand ditemukan saat muncul kesadaran diri tentang keunikan. Ia justru akan terlihat saat muncul perbedaan. Bila semua orang sama saja, maka tidak ada satupun diantara mereka yang perlu diperhitungkan atau istimewa. Setiap orang seharusnya istimewa dan berbeda. Memiliki keunikan dan menjadi diri yang patut diperhitungkan karena memang demikian adanya setiap orang. Penghargaan pada seseorang sebagai pribadi yang unik dan unggul, sebagaimana adanya setiap orang memang istimewa. 

Saya percaya bahwa PR terbesar kita adalah menjadi apa adanya diri kita, tanpa terlalu memaksakan diri membandingkan dengan orang lain, tetapi mewujudkan yang terbaik dari diri sendiri. 

Proses menemukannya bukanlah sesuatu yang mudah. Kegagalan dalam menjalani tantangan atau perjalanan hidup itulah yang justru menjadi proses menajamkan kekuatan pribadi. Ketika gagal itupun ada kesempatan untuk meningkatkan kapasitas diri dan melahirkan kompetensi baru, kekuatan baru dan pada akhirnya memperkuat branding.

Banyak orang yang berusaha membuat pencitraan melalui medsos. Pencitraan dapat membangun opini publik tapi tidak demikian dengan personal branding. Personal Branding memerlukan proses dalam perjalanan kehidupan, yang membentuk sikap dan karakter. 

Untuk menjadi “seseorang”, terkadang kita memerlukan  patron, mentor, dan proses itu sendiri. Tiga hal itu juga disampaikan Pak Helmy. Saya setuju bahwa kita pada tahap awal mungkin hanya bisa menjadi peniru atau memerlukan contoh senyatanya dalam hidup. Menemukan contoh itu juga terkadang tidak mudah, bisa jadi karena bukan tidak ada orang hebat dan baik lainnya, tetapi tentan mana atau apa yang sanggup kita tiru dari orang tersebut yang relevan dengan kapasitas kita sendiri. 

Ada yang mengatakan bahwa kesuksesan itu diperoleh karena tersedia 1 persen bakat, 99% sisanya kerja keras. Pencapaian tertinggi dari manusia dalam sejarah hidupnya adalah menjadi “seseorang” mengacu pada puncak kompetensi dirinya sendiri. Untuk itu terkadang faktor mentor untuk mengajarkan hal-hal penting menjadi salah satu penentu keberhasilan. Seperti besi yang sama akan menjadi benda yang berbeda bila di tangan seorang ahlinya. Maka keberhasilan seseorang akan dapat kita lihat juga dari siapa sebenarnya mentornya. 

Untuk semua kegagalan yang bersedia kita tanggung, ada guru-guru yang bersedia menjadi mentor dan bersabar untuk tetap mengajari kita. Mereka percaya bahwa suatu saat kita bisa dan menjadi ‘seseorang’ yang berbeda. Itulah sebabnya jasa guru tiada terputus walau mereka tlah tiada. Doa terbaik untuk para guru-guru kita. 


You Might Also Like

0 comments

Subscribe