Ketagihan Psikodrama: Mengapa Sekali Coba Ingin Kembali?
19.44Photo by Nusalab Studios on Unsplash
Tahukah Anda?
Psikodrama adalah salah satu bentuk terapi ekspresif yang melibatkan interaksi langsung, pengalaman tubuh, dan keterlibatan emosional dalam setting kelompok. Banyak peserta terapi ini mengaku terdorong untuk kembali mengikuti sesi-sesi berikutnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik: Apa yang membuat seseorang "ketagihan" dengan psikodrama? Untuk memahami hal ini, kita perlu menelusuri bagaimana psikodrama bekerja secara holistik menyentuh dimensi spiritual, neurobiologis, dan sosial dari diri manusia.
Psikodrama dan Pendekatan Holistik terhadap Manusia
Pendekatan psikodrama memandang manusia sebagai kesatuan utuh—pikiran, tubuh, emosi, dan spirit. Melalui metode eksperiensial seperti bermain peran (role play), role reversal, dan adegan simbolik, psikodrama menantang integrasi seluruh potensi diri. Emosi yang tertahan dapat dieksplorasi, dan pengalaman masa lalu dapat ditinjau ulang dalam konteks aman dan penuh dukungan.
Menurut J.L. Moreno, psikodrama adalah panggung untuk eksplorasi eksistensial dan transformasi manusia. Dengan berpindah dari peran-peran disfungsional menuju peran yang lebih kooperatif dan fleksibel, individu merasakan bahwa identitasnya tidak statis, melainkan dinamis dan kreatif (Moreno, 1972).
Melalui psikodrama, individu mengekspresikan emosi tertahan dan melakukan eksperimen peran (role play) secara langsung. Ini memfasilitasi transformasi konsep diri dan hubungan interpersonal.
Dinamika Kelompok dan Sosiometri
Salah satu kekuatan psikodrama adalah struktur kelompoknya. Aktivitas sosiometrik—seperti memilih siapa yang ingin diajak bicara atau berdiri dalam lingkaran berdasarkan kedekatan emosional—membuka peta relasi dan memperkuat rasa keterhubungan. Ini membentuk ikatan yang khas dan mendalam antar peserta.
Melalui kelompok, setiap individu menjadi cermin bagi yang lain. Ketika satu orang berbagi kisahnya, anggota lain sering kali merasa terhubung secara emosional. Proses ini menciptakan pengalaman kolektif yang mempercepat perubahan personal (Yalom, 2005). Seperti dikatakan Blatner (2000), kelompok psikodrama adalah ruang pembelajaran sosial dan emosional yang memperkaya pemahaman diri.
Dimensi Neurobiologis: Tubuh dan Otak dalam Terapi
Psikodrama memanfaatkan kekuatan tubuh untuk menyentuh memori dan emosi terdalam. Ketika seseorang mengekspresikan kemarahan, kesedihan, atau kasih sayang dalam adegan, sistem limbik teraktivasi—terutama amigdala dan hippocampus—yang berperan dalam penyimpanan memori emosional.
The body remembers what the mind forgets." – van der Kolk (2014).
Psikodrama memanfaatkan dimensi tubuh dalam mengakses memori traumatis dan memperbarui pengalaman emosional.
Menurut van der Kolk (2014), tubuh menyimpan jejak trauma, dan penyembuhan hanya bisa terjadi jika kita menyentuh kembali tubuh sebagai sumber pengalaman. Proses ini didukung oleh kerja sistem saraf sosial seperti yang dijelaskan dalam Teori Polyvagal (Porges, 2011), di mana rasa aman dalam relasi interpersonal dapat menenangkan sistem saraf otonom dan membuka akses ke proses penyembuhan.
Proses role reversal dalam psikodrama juga mengaktifkan mirror neurons, yaitu neuron yang menyala baik saat melakukan maupun mengamati tindakan. Aktivasi ini memicu empati mendalam dan pemahaman kognitif yang dapat mengubah cara pandang seseorang terhadap orang lain (Gallese et al., 2004; Cozolino, 2014).
Dimensi Spiritualitas dan Makna Kehidupan
Lebih dari sekadar proses psikologis, psikodrama juga membuka ruang spiritual yang otentik. Dalam suasana aman dan suportif, seseorang merasa diterima dalam totalitas dirinya. Ketika seseorang memerankan peran penting dalam hidupnya dan menemukan makna baru, terjadi pengalaman transendensi—suatu perasaan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Spiritualitas dalam psikodrama tidak selalu bersifat religius, tetapi lebih pada pengalaman eksistensial tentang siapa saya, apa pilihan saya, dan bagaimana saya ingin hidup. Dalam kondisi ini, makna dan insight seringkali muncul secara spontan, memberi arah baru bagi kehidupan seseorang (Giacomucci, 2021; Wilber, 2000).
Dalam psikodrama, aspek spiritual muncul bukan dalam bentuk doktrinal atau ritual keagamaan, tetapi melalui pengalaman eksistensial, ketika individu merasakan keterhubungan yang lebih luas dengan dirinya, orang lain, dan makna hidupnya. Hal ini terjadi saat seseorang dapat menyadari, menerima, dan memberi makna baru atas pengalaman hidupnya melalui tindakan simbolik di panggung psikodrama.
Contoh: Dalam adegan role reversal, seseorang memainkan peran sebagai orang tuanya yang pernah menyakitinya. Melalui peran ini, ia tidak hanya memahami perspektif orang tuanya, tetapi juga merasakan empati dan munculnya rasa pengampunan. Ini sering dirasakan sebagai pelepasan beban batin dan pengalaman spiritual yang mendalam.
Integrasi Diri dan Transformasi Personal
Melalui pengalaman tubuh, empati, dan eksplorasi spiritual, psikodrama memberikan ruang bagi integrasi diri yang utuh. Protagonis tidak hanya memerankan kisahnya, tetapi juga mengalaminya ulang dengan kesadaran dan pilihan yang lebih matang. Perubahan ini tidak hanya bersifat emosional atau kognitif, tetapi menyentuh dimensi identitas yang lebih dalam.
Inilah yang menjelaskan mengapa seseorang ingin kembali mengikuti psikodrama. Bukan karena ketergantungan patologis, melainkan karena kebutuhan untuk terus bertumbuh, merasa terhubung, dan mengintegrasikan pengalaman hidupnya dalam cara yang bermakna.
Referensi
· Blatner, A. (2000). Foundations of Psychodrama: History, Theory, and Practice (4th ed.). Springer.
· Cozolino, L. (2014). The Neuroscience of Human Relationships. W. W. Norton & Company.
· Gallese, V., Keysers, C., & Rizzolatti, G. (2004). A unifying view of the basis of social cognition. Trends in Cognitive Sciences, 8(9), 396–403.
· Giacomucci, S. (2021). Social Work, Sociometry, and Psychodrama: Experiential Approaches for Group Therapists, Community Leaders, and Social Workers. Springer.
· Moreno, J. L. (1972). Psychodrama: Volume 1. Beacon House.
· Wilber, K. (2000). Integral Psychology: Consciousness, Spirit, Psychology, Therapy. Shambhala.
· Yalom, I. D. (2005). The Theory and Practice of Group Psychotherapy (5th ed.). Basic Books.
Bandung, 30 Mei 2025
0 comments