Merawat Diri dengan Mindfulness; Sebuah refleksi awal tahun baru 1447 H

07.45

 

Sadarkan kita?

Hidup hari ini berjalan cepat. Jelang istirahat malam hingga kita bangun di pagi hari, terjebak rutinitas, terhimpit waktu, dan sebelum menyadarinya, hari telah berakhir kembali. Tak jarang kita merasa seperti sedang menjalani hidup tanpa betul-betul hadir di dalamnya. Kita bergerak, tapi tidak selalu sadar ke mana. Kita bernapas, tapi tidak betul-betul merasakan udara yang kita hirup. Kita berbicara, tapi tidak sungguh-sungguh mendengar. Di tengah kebisingan dunia, diam menjadi barang langka. Kesadaran menjadi sesuatu yang mahal.

Apakah Anda pernah mengalaminya? Saya menyadarinya dan berulang kali menyesalinya. Mengapa waktu bergerak begitu cepat tanpa menyisakan hal yang berguna terjadi pada hari ini.  Bukan hanya saya, klien dan orang-orang terdekat yang saya amati, mengeluhkan hal yang sama. Karena itulah, saya mengingatkan diri sendiri dengan mencari dan menemukan situasinya melalui tulisan ini.  Sebelum  malam ini berlalu, mari kita jeda sesaat. 

***

Di tengah kegaduhan ini, ada satu nilai yang bisa menjadi penuntun kita untuk hidup lebih penuh, lebih bermakna: mindfulness, atau dalam bahasa sederhana, kesadaran. Jon Kabat-Zinn menyebut mindfulness sebagai cara memperhatikan secara sengaja pada saat ini, tanpa menghakimi. Ini bukan teknik semata, bukan pula alat relaksasi. Mindfulness adalah cara untuk kembali ke inti hidup—kehadiran penuh dalam setiap momen. Saat kita sadar akan apa yang sedang kita lakukan, saat itu pula kita benar-benar hidup. Walaupun tokoh ini seorang yang sekuler dan menemukan inspirasi mindfulness dari tradisi Budhism, tapi saya ingin kita melihat esensinya agar kita “hadir” dalam setiap momen yang kita alami. 

Lebih jauh lagi, kehadiran itu tidak bisa dipisahkan dari proses belajar dan perenungan. David Kolb, dalam teorinya tentang Experiential Learning, menekankan bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk membuat seseorang belajar. Pengalaman perlu direfleksikan, dipahami, dan diuji kembali dalam tindakan. Inilah yang membedakan antara orang yang hanya mengalami hidup dan orang yang tumbuh melalui hidupnya. Refleksi adalah jembatan antara kejadian dan kebijaksanaan. Ketika kita merenungi apa yang telah terjadi, kita sedang menyaring makna. Kita tidak hanya mengingat, tapi juga memahami.

Mengingat bahwa saya menolong klien yang kesulitan untuk mindful, alih-alih semakin mindfull, overwhelmed, overthinking dan beberapa istilah lain yang semakin popular tentang situasi cemas menjalahi hidup sehari-hari. Maka perlu kita sadari bahwa mindfulness bukanlah praktek meditasi, dengan duduk termenung. Walaupun dapat saja kita lakukan dengan cara seperti itu, mari kita jeda sesaat dan renungkan.

Dalam hidup sehari-hari, proses ini bisa muncul lewat hal-hal yang sederhana. Ketika kita  menyadari apa yang terjadi, apa yang kita lakukan seharian ini lalu ada pikiran dan emosi negatif menyertai, mari kita renungkan. Saat marah, kecewa, atau tersinggung, ada pilihan untuk berhenti sejenak dan bertanya: mengapa saya bereaksi seperti ini? Apa yang disentuh dari diri saya? Apakah ini tentang peristiwa sekarang atau luka lama yang belum selesai? Ketika kita berani bertanya seperti itu, kita sedang mempraktikkan mindfulness dan refleksi. Kita tidak larut begitu saja dalam emosi, tapi berdiri sebagai saksi atas emosi itu. Kita mengakui, bukan menyangkal. Kita hadir, bukan menghindar. 

Dalam tradisi spiritual Islam, konsep kesadaran ini sangat dekat dengan nilai-nilai utama dalam kehidupan  orang beriman. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-’Asr: “Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” Waktu menjadi saksi, dan manusia cenderung merugi karena tidak menghargainya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa waktu bukan sekadar sesuatu yang berlalu, melainkan ruang untuk kesadaran, amal, dan pertumbuhan.

Rasulullah SAW pun bersabda, “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Nikmat waktu sering terbuang bukan karena kita tidak punya waktu, tapi karena kita tidak hadir di dalamnya. Kita mungkin bersama keluarga, tapi pikiran melayang ke pekerjaan. Kita mungkin sedang berdoa, tapi hati kosong dari rasa. Di sinilah pentingnya latihan kesadaran: agar setiap detik menjadi berarti, setiap peristiwa menjadi pelajaran.

Mengembangkan mindfulness dalam hidup tidak perlu menunggu momen besar atau latihan secara khusus, namun semestinya dapat dilakukan kapan saja. Ia dimulai dari niat untuk hidup dengan jujur dan sadar. Kesadaran bisa tumbuh saat kita memulai hari dengan bismillah, menyadari setiap langkah dalam wudhu, atau bahkan saat kita mengambil jeda dalam percakapan untuk mendengarkan orang lain dengan sepenuh hati. Hal-hal kecil menjadi ladang keberkahan ketika kita hadir sepenuhnya.

Di sisi lain, refleksi bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi untuk menyaring hikmah dari setiap pengalaman. Kita belajar mengenal pola-pola lama yang mungkin membatasi diri kita. Kita mengamati luka-luka batin yang belum selesai, dan mulai menenun ulang kisah hidup dengan rasa syukur. Kolb mengajarkan bahwa belajar sejati tidak terjadi di ruang kelas, tapi di ruang batin. Setiap pengalaman—baik atau buruk—adalah guru yang menyamar.

Orang yang tumbuh adalah orang yang bersedia bercermin. Ia tidak takut melihat bayangan diri yang gelap, karena ia tahu bahwa dari sana cahaya bisa muncul. Reflektif sama seperti melihat bayangan kita sendiri. Beranikah kita bercermin dan melihat secara jujur apa yang kita lihat di hadapan kita?. Tidak perlu terjebak pada peran sebagai korban atau pahlawan dalam kisah hidup. Sadari saja, bahwa kita selalu punya pilihan: untuk hadir, untuk belajar, dan untuk bertumbuh.

Mulai malam ini,

Di tengah dunia yang menuntut produktivitas dan kecepatan, bersikap mindful dan reflektif bisa jadi bentuk perlawanan yang lembut. Kita tidak hanya mengejar banyaknya aktivitas, tapi kualitas kehadiran. Kita tidak hanya sibuk bekerja, tapi juga sibuk menjadi manusia yang sadar. Kita menghargai waktu bukan karena takut kehabisan, tapi karena kita sadar bahwa setiap momen adalah kesempatan untuk mendekat pada nilai-nilai yang lebih tinggi. Hemm.. ini benar-benar PR besar bagi kita semua. Ketika produktivitas, kesibukan dan waktu berpacu. Waktu yang mengejar kita ataukah kita yang menggunakan waktu dengan penuh kesadaran. 

Menjadi sadar dan reflektif bukan berarti hidup tanpa kesalahan atau penderitaan. Justru dari ketidaksempurnaan itulah ruang belajar terbuka. Ketika kita salah, kita belajar memaafkan. Ketika kita terluka, kita belajar merawat. Ketika kita gagal, kita belajar bangkit. Dalam semua itu, kita hidup bukan hanya untuk melewati waktu, tapi untuk mengisinya dengan makna.

Setiap langkah kecil ini, semoga menjadi hal baik untuk waktu yang akan kita lewati selanjutnya. Jika esok kita masih diberi ruang dan waktu maka mari mulailah untuk terus merawatnya dengan lebih sadar dan penuh makna. 


Ket foto: Koleki pribadi (Suatu pagi di Pantai Timur)

You Might Also Like

0 comments

Subscribe