Banjir Dopamin di Garut

18.56

koleksi pribadi

Anaxagoras pernah ditanya tentang cara mengatasi kesedihan, ia menjawab, "Hendaknya engkau menginginkan apa yang ada, jika tidak terdapat apa yang engkau inginkan."

##

Paska kebijakan melonggarkan penggunaan masker dan semua aktivitas kantor serta sekolah diijinkan untuk offline, masyarakat merespon antusias. Sebagian aktivitas dilakukan bersifat hybrid, sebagian sudah sepenuhnya normal tatap muka langsung. Sebagian besar aktivitas kita adalah kembali menormalisasi keluar rumah setiap hari, berkendara menuju tempat kerja, menikmati kerumunan bersama teman dan keluarga, datang ke pusat-pusat belanja, tempat kuliner dan tentu saja piknik. 

Bagi emak-emak arisan, piknik sepertinya nomor satu, sejak jenuh ke pasar, memasak, mengantar anak sekolah, mengurus tetek bengek urusan pekerjaan utama di kantor ataupun mendampingi suami. Hal yang paling diinginkan adalah jalan-jalan, makan-makan, ngobrol bersama kawan dan tentu saja tertawa dan berfoto, selfie ataupun wefie

Di sela obrolan, muncul gagasan untuk menjelajah tempat yang sudah lama diidam-idamkan, mungkin pergi ke Ubud Bali, Melihat air terjun dan menelusuri kelok sembilan di Sumbar, naik balon udara di Capadocia, its my dream  bangetz. Impian lain adalah umroh bersama dan menelusuri sejarah para nabi-nabi di negri Syam atau jalan-jalan ke Mesir atau belanja di Eropa. Sepertinya baru sebatas hayalan dan ide, karena ujung pembicaraan mengkerucut pada biaya dan waktu yang ternyata tak mudah untuk dikelola. Sementara mungkin itu akan menjadi agenda selanjutnya jika memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. 

Kegiatan arisan hari ini, kami pergi ke suatu tempat di Garut yang konon katanya menarik untuk wefie dan makan-makan. Benar saja, beberapa spotnya di desain mirip ubud, tetapi ada jembatan merah seperti di jepang dan tersedia balon udara bertuliskan nama branding tempat itu. Kita tak keberatan membayar tiket masuk Rp. 20.000, cukup mengganti kepenasaran. Barangkali sang pengola perlu cashback setelah menyulap tebing dan bukit terpencil menjadi tempat menarik untuk dikunjungi. Kalau lapar, tersedia resto, sebagian orang menyelundupkan bekal makan siang di tas besarnya. Umumnya orang hanya berjalan kesana kemari untuk selfie, sebagian duduk di tempat teduh mengamati lanskap yang cerah tetapi sejuk berlimpah oksigen. Cocok untuk tempat kabur sesaat, bila jenuh di dapur atau di ruang kantor yang tertutup. Cukup dengan membayar Rp. 10.000, beberapa spot berfoto dilayani secara profesional.  Kami cekikikan mengamati ibu-ibu berseragam pink dan bertopi lebar menjerit saat tali pengait berayun sesaat mereka berfoto di dalam keranjang balon udara yang terikat. Perlu cukup nyali untuk duduk di sepeda gantung demi sebuah foto.  

”Saya dibayarpun tak mau,”celetuk seorang kawan. 

Kurang dari 30 menit kami sudah selesai berkeliling di tempat itu dengan berpanas-panas, berfoto di spot yang gratisan sambil menelusuri pematang sawah yang disulap seperti tempat wisata di negeri antah berantah, campur aduk konsep membuat tampilan latar belakang foto kami menjadi lucu. Terbahak mengamati gaya dan kekoyolan yang kita buat sendiri, “Nanti kita edit ya gambarnya supaya sesuai,” demikian celetukan diantara kami. Bu ibu mau pilih kesan jepang, Turki atau Bali nih? atau seperti di negeri dongeng?. Semua foto terlihat sangat bagus, eksotis, efek dari kamera canggih dari hape salah satu peserta. “Ah yang penting wajah di bluur saja, biar telihat mulus, wk wk wk..” 

Keriangan khas emak-emak bicara hal-hal receh namun membuat otak kebanjiran dopamin. Alangkah sederhananya kebahagiaan itu. 

Kami berkumpul untuk makan bersama dengan menu yang sungguh memikat, resto ini memang cukup recommended soal rasa, saya memberi saran beberapa pilihan yang cocok dengan selera emak arisan. Bagi saya pribadi, andai restonya tak menarik, perjalanan ini menjadi terlalu mahal dari sisi waktu dan destinasinya. 

Makan sambil membicarakan kelucuan diantara perilaku konyol se-jam itu, kami berencana melanjutkan  melihat pusat belanja tas kulit yang konon banyak mencontoh tas branded. Sebut saja "kawe premium" namun secara teknik produknya layak tanding dengan produk brandid yang dibandrol 10 kali lipat harganya.  Tanpa rencana belanja yang jelas, sekedar mencari ide atau windows shoppingpun tak apa-apa.

Sebelum makanan kita tandas ludes tak bersisa, seseorang telah dengan sengaja menghilang yang ternyata membayar semua tagihan dari kantongnya sendiri. Disadari 30 menit kemudian saat orang-orang menanyakan tagihan pada pelayan. Satu lagi peluru penembak jitu berhasil melepaskan dopamin, hormon kebahagiaan dari otak emak-emak yang lagi benar-benar tak bertopeng. Terbahak lepas bahagia hanya milik emak-emak arisan yang dengan saling merendah hati untuk selalu mau berbagi dan memiliki ikatan kasih sayang, sesuai namanya, inilah arisan silaturahim. 

To be honest, jujurly, kita perlu berterima kasih pada pusat belanja murah, tempat piknik unik dan tempat makan enak yang menyediaan booster bagi kebahagian ala emak-emak. Tengok saja di medsos, betapa banyak postingan semacam ini, dan itu sudah cukup sebagai pereda kesedihan. Tak perlu menginginkan hal-hal yang mahal, mewah, jauh dan sulit. Kebahagiaan itu ada di sekitar kita. 


#Sebuahcatatan tunda piknik bersama grup arisan.

#filsafatreceh

You Might Also Like

0 comments

Subscribe