Berlatih Mindfulness

19.01



Tulisan ini pengingat untuk kita (termasuk saya)  perlu berjuang menemukan cara untuk mendidik diri dengan baik. Menjadi orang baik sejak dalam pikiran kita, lurus dalam jiwa dan benar dalam prilaku sehari-hari. Yang perlu kita lakukan adalah bersikap hati-hati dan selalu mengawasi diri sendiri. Salah satu teknik mengawasi diri adalah dengan cara selalu hadir dalam setiap moment, selalu mindfulness. 


Begini ceritanya.

Orang yang mindful, mampu mengontrol prilakunya, ia mampu menyadari pikiran mana yang perlu direspon,  mana yang perlu diabaikan. Menyadari kondisi emosinya dan mendisiplinkan diri untuk bertindak secara tepat. Tentu saja ia mampu mengembangkan ingatan, fokus dan relasi interpersonalnya, dan dengan demikian ia akan lebih mampu meningkatkan empati dan rasa belas kasih. 

“Lha, bagaimana caranya?” Tampaknya lebih mudah membicarakannya, tapi tidak bisa dipraktekkan. “Apa yang salah ya?” 

Pertanyaan ini datang dari kenyataan bahwa kebanyakan kita berespon secara reaktif terhadap segala yang terjadi terhadap dirinya. Orang langsung marah begitu diledek temen, langsung mundur teratur saat ada yang membuatnya kecewa. Ya tentu saja kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, apa salah ketika kita kecewa, takut, sedih dan merasa bersalah. Tidak ada yang salah dengan emosi itu selama kita menyadari dan mampu menanggapi emosi ini dengan tepat. Kebanyakan kita sering sudah memiliki harapan dan asumsi di dalam pikirannya sendiri tentang berbagai hal. Dengan demikian, menjadi sering mudah dikecewakan, marah dan takut  oleh karena berbagai kejadian yang menimpanya, karena itu semua tak sesuai prediksi dan rencananya. 

“Ya, Saya juga terkadang begitu”

Banyak orang bicara tentang mindfulness, dan diingatkan agar jangan sekali-kali membiarkan diri dalam situasi mindfullness (dobel el). Pikiran penuh, seperti monyet yang berlompatan tak terlatih. Hampir dari semua dari kita berjuang untuk mengatasi berbagai dialog simpang siur dan ide-ide yang berloncatan dalam pikirannya sendiri. Tidak fokus, banyak keinginan,  digempur dengan beragam ide yang mungkin tidak sejalan atau saling bertolak belakang dan menciptakan konflik internal. Tak salah ketika Freud mengatakan bahwa manusia berjuang untuk melawan konflik-konflik dalam dirinya terus menerus. Ketika kita tak memiliki panduan dan kontrol terhadap diri kita sendiri, sulit  memastikan seseorang melakukan tindakan yang adaptif juga baik dan benar.

Latihan mindfulness sering dikaitkan dengan meditasi nafas atau olah nafas. Apapun istilahnya, mindful berawal dari sikap waspada yang diawali dengan cara bernapas yang benar, sehingga menjadi fokus dan tenang. 

“Pssst…,perlu kita ketahui orang yang memiliki ketenangan batin dapat terlihat dari cara ia bernapas” 

Tenang dan rileks bertingkat mengacu pada gelombang otak mana yang berfungsi. Ketenangan ini yang memungkinkan seseorang mampu mengawasi monyet dalam pikirannya, memilah mana pemikiran yang layak mendapat perhatian lalu membuat pertimbangan tanpa dipengaruhi oleh kondisi emosional. Emosi sangat mudah berubah dan terombang ambing mengikuti suasana hati. Berfungsinya pemikiran sadar menunjukkan kondisi emosi berada dalam kendali akal. Akal disini dibangun oleh pemahaman dan pengetahuan untuk membuat seseorang memiliki pertimbangan dan sikap bijaksana. Bagaimanapun hal ini hanya dapat dilakukan bila ia mampu memilah-milah  kecenderungan tersebut sebelum bertindak dan menerima konsekuensi dari perilakunya.

Kuncinya adalah semakin menyadari “jarak antara pikiran, perasaan atau emosi dan reaksi terhadap pikiran, perasaan dan emosi tersebut, semakin mindful. Menyadari jarak ini memungkinkan kita mampu mengontrol tindakan kita. 

Kembali ke dongeng lama dulu:

Ketika kecil, saya pernah melihat visualisasi seorang petapa sedang bersemedi dikelilingi oleh binatang melata seperti ular, kalajengking juga binatang hutan lainnya seperti monyet, babi hutan dan binatang berbahaya seperti harimau dan buaya. Mungkin ada juga binatang-binatang ternak seperti kambing atau burung-burung indah seperti merak atau cucak rowo yang indah suaranya. Konon petapa itu tak pernah terganggu oleh binatang itu walaupun ia duduk di tengah hutan itu bertahun-tahun lamanya. Ia bahkan tidak makan, tidak minum dan tidak tidur dan tidak bergerak, sehingga tubuhnya dipenuhi lumut.

Belakangan saya menyadari bahwa orang yang bersemedi itu tidak selalu berarti seorang petapa di tengah hutan. Kondisi semedi mungkin saja dicapai oleh seseorang yang duduk nyaman di ruangan ber-AC di lantai 30 sebuah kantor eksekutif di kota metropolitan. 

Mungkin saja kearifan lokal nenek moyang kita dulu mengupayakan hidup tenang dengan cara menyendiri di tengah hutan dan berusaha untuk mencapai tingkat spiritualitasnya dengan cara bertapa. Bersemedi adalah awal mula untuk mencapai kemampuan mengontrol pikirannya yang mewujud sebagai binatang yang menjadi simbol dari hasrat rendah manusia. Freud menyebutkan dengan istilah Id, yang memang berisi syahwat cinta dan agresi.

Konon pertapaan Arjuna Wiwaha menjadikan gunung semakin tinggi hingga hampir menembus nirwana di langit. Akibat pertapaannya ini, hampir-hampir saja langit runtuh dan nirwana bergoyang. Orang-orang jaman dulu berdoa di puncak gunung dengan pemikiran semakin tinggi semakin dekat mencapai kerajaan syurga di langit dimana Tuhan bertahta. Perkembangan spiritualitas memang selalu digambarkan berada di atas dan terus melangit meninggalkan hasrat duniawi yang  dipenuhi oleh kecenderungan hewani. Bagi sang petapa, kondisi mindful itu begitu menghayutkan, hingga mereka  “lupa diri” karena situati flow yang membuat dunia terasa berhenti  membeku sekaligus mengalir di dalam supra kesadaran ruhani yang membius. Kondisi trance dimana mereka merasakan pengalaman transendental yang sangat subjektif. Arjuna tidak bisa dibangunkan sama sekali, hingga gunung tempat bertapanya dipotong dan Arjuna terjatuh. 

Ini kisah atau mitos pewayangan yang saya catut dari youtube, tepatnya mitos gunung Arjuna. Saya tidak tahu kebenarannya, karena tidak pernah membaca sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, namun kita dapat belajar tentang kondisi mindful yang mengggiring seseorang untuk mencapai kesadaran supranatural yang tidak pernah di bahas oleh teori Psikoanalisa. Belakangan Jung, murid Freud dan Maslow sebagai perintis psikologi positif humanistiklah yang menemukan fenomena ini. Maslow menyebutnya sebagai puncak eksistensi manusia yang faktanya tercetak di dalam gen manusia sebagai makhluk  spiritual alih-alih makhluk bumi yang dipenuhi oleh hasrat kebinatangan. 

Seseorang yang mencapai kondisi trance seperti Arjuna mungkin dapat disetarakan dengan kekhusyuan. Ia akan merasa sangat nyaman, dalam arti merasakan seolah-olah waktu membeku sesaat dan ia mungkin lupa apa yang terjadi dengan ketubuhan dan lingkungan duniawi di sekitarnya. Ia memang tidak akan terganggu oleh hasrat yang fana, tentu saja tidak menarik sama sekali dibandingkan dengan kenikmatan spiritual yang abadi. Entah itu berbentuk ular berbisa dan singa yang berbahaya atau burung merak yang indah serta Cucak Rowo yang bunyinya menghayutkan. Tidak, tidak ada syahwat dunia yang dapat melalaikan orang yang khusyu dalam dialog batin yang menembus langit.  

Arjuna konon tidak terganggu oleh tujuh bidadari cantik yang menggodanya dan bahkan ia justru membunuh raksasa yang datang mengganggunya dengan satu kali  melepas busurnya yang tak pernah meleset itu.  Raksasa itu adalah egonya sendiri yang mati dibunuh, dan Arjuna mendapat hadiah dengan diangkat ke langit untuk mencicip ketikmatan dengan menjadi raja di syurga dengan tujuh bidadari yang menemaninya. Orang Jawa mengenalnya sebagai Arjuna Wiwaha. 

Konon Arjuna hanya tujuh hari saja bertahta dan ia kembali ke dunia untuk memerangi angkara murka, membantu saudara-saudaranya memenangkan perang Baratayudha. Di dunia, perang belum usai.

Pantas saja, syurga digambarkan dengan para bidadari cantik dan kerajaan yang dipenuhi kemewahan. Tapi sebelum itu mari kita menginjak bumi ini dan menyadari bahwa kita perlu persiapan diri untuk dapat kembali kepada yang Ilahi. Mari kembali pada PR besar kita di dunia. 

“Dari mana kita memulainya?” Mengawasi kecenderungan diri sendiri dengan bersikap mindfulness. 

Sebagian tulisan ini, saya kutip dari buku 10 Jurus Mental Sehat dan Bahagia, buku perdana saya.

 Tentang latihan mindfulness yang islami, saya mengacu pada pandangan Imam Al-Ghazali yang merekomendasikan 4 kegiatan praktis sehari-hari  spiritual mindfulness, yaitu : 

1.     Mengingat Allah

2.     Membaca Quran

3.     Kontemplasi 

4.     Berdoa

Adapun Latihan napas dengan Islamic Mindfulness, dapat dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut : 

1. Duduklah dengan  nyaman. Carilah area tertutup agar mudah untuk konsentrasi. Kegiatan ini dapat dilakukan setelah shalat, sebelum tidur atau dengan cara ber-uzlah, sengaja menyepi untuk beberapa saat hingga beberapa hari. 

2. Mulailah dengan mengatur napas, fokus pada nafas, lalukan hingga terasa rilek. Bila sudah terbiasa, dapat melakukan body scanning untuk menyadari kehadiran tubuh, mengidentifikasi pikiran, dan menerima perasan yang muncul. Terima dan awasi saja apa yang dirasakan atau apa yang muncul dalam pikiran. Belajarlah untuk memisahkan sebagai diri yang mengawasi.

3. Fokus pada kesadaran ini, rasakan kehadiran Allah sebagai muroqobah. Ingatlah dan rasakan bahwa Allah mengawasi. Kemudian lakukan dialog dalam diri, fokus bersama Allah dalam kehadiranNya saat itu. Rasakan saat ini dan momen saat ini. Present moment.

4. Terkadang pikiran dapat terpengaruh oleh berbagai hal beragam, pikiran monyet dan kawan-kawannya. Maka segera ucapkan zikir, bershalawat atau beristigfar, setidaknya 100 x

Mindfulness dapat dicapai dengan latihan, sehingga kondisi present moment menjadi kebiasaan, walapun tidak memerlukan posisi duduk secara khusus. 

Aktivitas ini tentu saja juga tak bisa serta merta membuat kita mencapai tingkatan spiritual atau membuat tempat duduk kita bergerak mengapung ke atas. Latihan ini baru awal agar kita mewaspadai tindakan kita agar sejalan dengan syariat agama dan berakhlak mulia dalam keseharian kita. 

Mindfulness boleh saya sebut sebagai anchor, semacam titik pijak untuk mengikat kemana pikiran kita membuat pertimbangan atas perilaku. Dengan keahlian ini maka latihan pencapaian spiritual akan lebih mudah dicapai. Seperti latihan angkat beban yang rutin akan melatih otot dalam tubuh untuk tujuan mencapai kesehatan fisik. 

Dalam spiritual Islam, mindfulness barangkali dapat disamakan dengan latihan muraqobah. Kesadaran diri ini dibentuk melalui pengetahuan bahwa Allah Maha Besar dan bahwa kita manusia tidak lepas dari gangguan syetan dan iblis saat kita beribadah padaNya. Dengan latihan merasa diawasi oleh Allah, bahwa jiwa kita memerlukan bimbingan dan karena kesadaran akan kapasitas diri, maka kita senantiasa memohon pertolonganNya agar apa yang kita tidak dipalingkan kepada selainNya. Barangkali akan banyak sekali godaan yang membius selama kita mendekat padaNya. Alih-alih berpaling, kita berpeluang berhasil memenangkan peperangan melawan nafsu raksasa yang bercokol dalam ego kita sendiri. 

 

Bahasan tentang mindfulness dapat Anda baca juga pada tulisan lama saya  Mengelola Hidup dengan Mindfulness

Sumber bacaan : 

Al-Ghazali, Abu Hamid.1984. Kimia Kebahagiaan, penerjemah Haidar Bagir. Bandung: Mizan

Fariha, Iip. 2022. 10 Jurus Mental Sehat Bahagia. Tangerang Selatan :Paradigma


sumber foto:j1OVl4P_BQQ 

You Might Also Like

0 comments

Subscribe