Competency vs Gratefully

22.53



 

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika kita yaitu Anda dan juga saya melakukan evaluasi tahunan saat moment pergantian tahun baru. Saya kali ini tak melakukannya, bahkan memilih meresap saja hal-hal yang terjadi dan membiarkannya secara alami, tanpa penafsiran ataupun penilaian sesuai dengan target atau harapan. Uncertainly, menjadi tema tahun ini yang saya serap. Semakin kita memaksa diri untuk meraih apa yang kita inginkan, semakin akan mudah kita terjebak pada penilain subjektif kita tentang apa yang kita peroleh dan apa yang luput darinya. Target dan harapan dapat menjebak kita untuk mendapatkan keberlimpahan yang lain yang selama ini kita abaikan. 

 

Kita juga sering terjebak dengan apa yang kita lakukan dan apa yang kita miliki, alih-alih membangun diri sendiri menjadi seseorang yang bertumbuh dan semakin baik. Hal ini tak mengherankan, karena saya dan Anda tampaknya diajarkan untuk mengejar suatu kompetensi tertentu dan meraih apa yang diinginkan lalu merayakannya sebagai sebuah kesuksesan. 

 

Kita diajarkan dalam pelatihan untuk membuat target dan action plan. Sama sekali tak buruk, terutama bila diimbangi dengan kapasitas dan motivasi yang kuat sehingga target yang masuk akal akan sangat mudah kita raih. Mengabaikan peluang bahwa selalu ada ketidak berhasilan mencapai apa yang kita harapkan menciptakan ruang rasa bersalah, kecewa dan emosi lain yang negative seperti merasa gagal, malu dan merasa tidak kompeten. Sesungguhnya kegagalan adalah hal berbeda dengan tidak tercapainya harapan. 

 

Selalu ada ruang dalam kehidupan kita yang tak mungkin kita kendalikan. Ada banyak hal yang luput kita amati dan kita justru semakin banyak kehilangan kesempatan untuk meraih keberlimpahan yang sesungguhnya tanpa batas. Ketika kita hanya melihat dengan kaca mata kuda tentang apa yang baik dan perlu kita kejar, lalu kita nyaris tak pernah menyadari cakrawala yang lebih luas di sebelah kanan dan kiri kita. Tampaknya itulah yang juga terjadi pada diri kita semua, eh pada saya selama menetapkan resolusi dan mengevaluasi hasil campaian akhir tahun. 

 

Saya tidak menganggap gagal jika ternyata ada yang tidak tercapai, tetapi situasi itu menunjukkan krisis kita sendiri dalam memahami dunia. Keterbatasan cara kita menilai dan menerima apa yang baik dan buruk, apa yang pantas dan keren sesungguhnya dibatasi oleh wawasan kita yang sangat pasti terlalu sempit. Alquran membahasakan salah pengertian ini dengan kalimat yang lugas. 

“Bisa jadi apa yang kamu anggap baik, sebenarnya buruk bagimu, sedangkan apa yang kamu anggap buruk padahal ada banyak kebaikan pada sisi Allah untuk dirimu”

 

 Mungkin saja saat pikiran kita tercerahkan Barulah kita menyadari dan mensyukurinya. 

 

Pertanyaannya adalah, “Seberapa penting pencapaian yang kita inginkan, dibandingkan dengan kemampuan menerima dengan suka cita apapun yang kita peroleh -yang sesungguhnya lebih besar, lebih banyak dan lebih baik- itu?”

 

Pencapaian bicara tentang apa yang kita dapatkan, penerimaan terkait tentang sikap kita terhadap pencapaian tersebut, bahkan tentang kehidupan itu sendiri. 

 

Kini saya belajar untuk bersedia menerima saja segala hal yang mungkin terjadi, bukan sekedar faktor resiko yang sudah kita perhitungkan sebelumnya tapi sebagai mekanisme alamiah hidup dengan segala kebijaksanaannya. Tentu ini sedikit menakutkan karena tampaknya banyak hal yang mungkin terjadi, terutama bila hal itu buruk atau kita nilai buruk. Kenyataan alamiah adalah hal yang kita dapat sebagai sesuatu yang kita sukapun ternyata tak selalu berakhir baik. Jadi apapun yang kita lakukan sekedar aplikasi dari kemampuan yang kita punya, yang amat sangat terbatas. 

 

Kompetensi kita sesungguhnya sangatlah terbatas, dibandingkan dengan pencapaian yang kita klaim sesungguhnya adalah mekanisme semesta yang terjadi selaras dengan niat baik dan kehendak yang mengatur sebab akibat alamiah. Bila kita pribadi yang religius, tentu kita sadar penuh akan peran Sang Maha Pengatur dalam mengelola hidup manusia ini. Apalah artinya manusia di tengah ciptaanNya yang meliputi langit dan bumi. Kita sesungguhnya hanya debu di Samudra pasir yang mana pengetahuan kita amat sangat terbatas, seperti mata semut yang tinggal di hutan belantara. Kita  bersyukur bahwa kita memiliki Tuhan yang Maha Memelihara ini. 

 

Catatan akhir tahun 2022


Foto From search-by-asset

You Might Also Like

0 comments

Subscribe