Dunia belajarnya kanak-kanak

06.40



 

“Semua anak dilahirkan pada awalnya  tidak pernah tahu apa-apa bukan?” lalu kita dapat melihat bagaimana mereka berproses dari tidak tahu menjadi tahu. Ada yang percaya bahwa mereka seperti kertas putih kosong yang siap ditulisi apapun. Ada yang membantah bahwa sebenarnya sudah ada semacam script yang menjadi templet pada setiap anak. Apapun itu, bagi saya anak punya fitrah iman sih namun bagaimana ia mengenal dirinya, Tuhan dan dunianya semua terjadi melalui proses. Proses itu terjadi sepanjang hidup manusia dan diajarkan Tuhan melalui pena, melalui orang tua, guru, teman, mentor, lingkungan sekitar bahkan segala hal yang dapat ia sentuh, ia lihat, ia dengar, ia rasakan, apapun yang ia alami.

 

Saya menghindari kata belajar dan memilih kata bermain atau menyebutkan suatu aktivitas yang dilakukan saat berinteraksi dengan kanak-kanak. Hingga anak dewasapun, rasanya saya jarang atau mungkin tidak pernah menyuruh dengan menggunakan kata “belajar”. Menyebutkan aktivitas yang secara objektifnya lebih clear dan kita dapat melihat secara jelas tujuan dan manfaat dari suatu kegiatan tersebut. Misalnya, “Yuk kita pasang puzzle”, “Mari kita bagi pizza ini untuk 8 orang, sepotongnya milikmu jadi berapa bagian?”.

 

Anak saya pernah bertanya pada saya, kapan ibu mengajarkan ia matematika, saya jawab saat dia masih di perut. Ketika saya sapa dia dengan ketukan  dia sudah membalasnya dengan menendang perut saya, sakit sih tapi menggelikan.  Saya mengajarkan perkalian, pembagian saat ia masih saya suapi makan. Mulai mengenal buku, saat ia  mampu menggenggam sesuatu dengan tangannya sendiri. Lalu ia mulai mendengarkan buku yang saya baca, saat ia belum bicara dengan jelas setiap hari bertahap sejak 1 buku hingga 10 buku  setiap malam.. 

 

Semua hal baru bagi anak adalah belajar, semua hal baru bagi kita orang dewasa juga merupakan medan latihan pembelajaran. Belajar terbukti ada, saat kita melihat adanya perubahan, baik dalam sikap, perilaku, persepsi, emosi dan juga cara berpikir. Lebih jauh lagi adalah kompetensi, sikap mental dan belief system. 

 

Terkadang konsep belajar dibatasi oleh ruang dan waktu. Dianggap belajar saat duduk, hanya melakukan aktivitas baca dan tulis atau saat kita berada di kelas serta menghasilkan sebuah kemampuan menjawab soal yang diajukan oleh guru ketika ujian. Plus mendapat rangking di sekolah. Itulah pembatasan paling konyol yang kita lakukan sebagai orang tua. Guru wajib membuat kurikulum pendidikan serta mempertanggung jawabkan segala pekerjaannya tersebut pada stakeholder, para orang tua dan pemerintah. Tapi seorang anak akan belajar tidak hanya di sekolah. Lagi pula mulai banyak orang tua waras yang makin sadar akan perannya mendidik anak sejak di rumah, sejak sebelum sekolah, sejak ia belum lahir. Ruang belajar tidak layak dibatasi oleh ruang kelas, dunia tempat anak belajar anak seluas ruang yang diijinkan oleh para pengasuhnya untuk dapat mereka eksplorasi. 

 

Pendidikan mungkin sedikit berbeda dengan sekolah, karena terkadang sekolah umumnya terjebak pada materi akademik, menu standar di sekolah formal. Pendidikan memiliki unsur etis dan moral dalam mengembangkan kepribadian anak. Walaupun ada banyak sekolah memiliki misi untuk menguatkan sisi moral dan agama dalam proses belajar dan materi pendidikannya. 

 

Saya memiliki pemikiran yang paling simple saja, karena anak diciptakan oleh Tuhan yang Maha Cerdas, tentu Ia pula yang lebih tahu proses mana dan ilmu apa yang mampu diserap oleh setiap anak. Sebut saja, misi setiap anak tentu telah diselipkan sesuai dengan DNA mereka masing-masing. Sebenarnya, otak manusia penuh misteri dan memiliki kapasitas yang luar biasa. Jadi bagaimana  mungkin kita membatasinya? Kecuali karena kekerdilan kita sendiri, akibat rasa malas, kehilangan minat, salah arah atau tidak mampu mengarahkan diri untuk menyerap luasnya Ilmu yang disajikan Tuhan. 

 

Saya tidak ingin orang tua terlalu fanatik pada satu jenis bidang ilmu dan keahlian. Sementara anak tidak diijinkan untuk mencicipi dan melihat segala peluang itu untuk dia uji sendiri. Tentu akan banyak sekali proses eksperimentasi, tetapi percayalah bahwa kapasitas anak-anak itu melebihi ekspektasi kita. Seringkali justru kitalah yang kewalahan untuk mengatur agar anak juga belajar bersabar, bertahap dan pada akhirnya mau memilih yang paling dia suka dan benar-benar maslahat bagi dirinya. Kunci peminatan dan pengembangan bakat menurut para ahli adalah kesempatan untuk eksplorasi. Semua anak menurut saya seperti filosof, daya ingin tahunya sangat besar. Ia dibekali untuk selalu kepo dan tidak puas, sehingga bila kita memberinya ruang, sesungguhnya anak-anak memiliki sumber yang tak terbatas untuk belajar.

 

Ketika anak-anak dinilai malas belajar, lalu kita begitu riweuh melakukan kampanye pentingnya belajar. Menurut saya, sebenarnya kita sejak awal telah bertindak menjadi oknum yang membatasi aktivitas belajar anak itu sendiri, sehingga rasa ingin tahu dan kecenderungan anak untuk melakukan eksplorasi sejak diri telah terbatasi. Alih-alih mendukung dan menfasilitasi potensi yang tak terbatas ini, orang tua terlambat sadar ketika anak sudah makin sulit karena tantangan mereka makin lama makin berat. 

 

Kita juga memiliki persepsi yang sempit tentang apa yang patut dipelajari, apa yang tidak. Bagaimana caranya belajar, mana yang boleh mana yang tidak. Hal sederhana adalah tentang warna apa yang boleh dipakai saat melukis awan atau pohon. Apakah bentuk kucing harus sama seluruh dunia. Bagaimana kalau gambar monyet hanya terdiri dari dua garis saja, karena ia monyet yang tenggelam di air dan hanya terlihat ekornya saja.  Ha ha ha. 

 

Apakah anak hanya boleh menulis  kalimat dan tak boleh membuat kode rahasia seperti morse?” bagaimana kalau tidak perlu mencatat tapi memperagakan dan menebak gambar? Bagaimana kalau membahas film dan memasak saja daripada membaca  dan menuliskan daftar sayur dan buah. Bukankah lebih seru main sudoku dan teka teki silang dari pada mengerjakan soal matematika. Pergi ke musieum mungkin menyenangkan dari pada duduk mendengarkan ceramah guru sejarah yang tak suka traveling. 

 

Tentu orang tua yang bijaksana dapat membantu memilih dan memilah mana yang paling utama dan prioritas untuk diajarkan pada anak, sehingga minat dan fokus belajar mereka akan mengarah ke sana. Namun itu dapat kita lakukan manakala wawasan anak sudah terbuka dan mulai mampu membedakan beragam pengalaman belajarnya. Pada umumnya terkadang banyak yang cenderung memaksa mengikuti apa yang baik menurut versi pengalaman hidup orang tua yang terbatas. Sementara anak menjadi tidak punya pilihan untuk mencoba hal yang lain dan baru. Tentu ada juga tantangan dan bahayanya bila kita orang tua tidak berperan sebagai pendamping yang bijaksana dan memahami “dunia” yang dihadapi anak-anak. 

 

Belajar itu  menemukan hal baru dan mengembangkan dayapikir anak-anak, berpikir analitis-kritis tapi juga perlu mendalam dan esensial, lalu kemandirian membuat keputusan dan mengendalikan perilakunya sehingga belajar memberikan perubahan pada akal dan budi manusia. 

 

Yang dapat kita lakukan adalah menjaga kemauan belajar anak yang sudah kepo sejak orok. Rasa ingin tahu itu memberi ruang terbuka untuk berpikir. Orang tua justru lebih sering membuat pagar membatasi pikiran dan semangat memahami dunianya namun disisi lain dilepaskan pada “dunia” tanpa kejelasan bagaimana anak akan aman melakukan penjelajahan. Ini akan terlihat saat pendampingan didefinisikan sebagai menyediakan guru privat, atau malah memberi pengasuh yang tidak memahami dunia Pendidikan anak atau memberi fasilitas yang membuat anak anteng sendirian. 

 

Kunci hidup adalah pada kemauan dan kemampuan untuk berpikir, karena anugrah terbesar dari Allah swt itu adalah kemampuan kita berpikir. Namun ada tahapan dan kebutuhan untuk pendampingan dalam proses melakukan eksplorasi dan tentang bagaimana anak mulai mengenal dunia mereka semakin lama semakin luas. 

 

Selain soal otak, anak-anak juga belajar menjadi bagian dari lingkungan masyarakat yang lebih luas, maka ia perlu belajar berteman, berempati, berbagi dan bermasyarakat. Eksplorasi anak jelang remaja memiliki ruang yang semakin luas. Tantangan jamannya saat ini, ketika semua serba dibuat instan dan mudah, maka mungkin semua proses belajar terjebak lagi oleh teknologi digital, mindset viral dan identitas medsos serta budaya like & share 

 

Ketakutan orang tua anak generasi digital  akan bertambah karena ketidaksiapan menghadapi dunia yang amat terbuka didepan jempolnya. Pola relasi virtual, individualism dan egoisme yang membuat social skill anak-anak kita bermasalah. Mulai terjadi kecemasan missing out (FOMO), kedangkalan berpikir, kekurangan daya kendali terhadap perilaku. Bagian ini kejauhan sih, kita bahas nanti lagi ya pada bagana tentang eksplorasi remaja. 


Itulah sebabnya no gadget dulu deh buat anak-anak. Sebab mereka belum matang  untuk memilih dan memilah. Apalagi kalau Emaknya sendiri gaptek dan kurang matang dalam pemikiran. Kita jadi bakal lebih paham kenapa ada anak-anak remaja yang kecepetan dewasa penampilannya tapi cara berpikirnya tertinggal di belakang. 

 

Bersambung. 

 

Bandung, 1 Maret 2023


Photo by Josh Withers on Unsplash

You Might Also Like

0 comments

Subscribe