Mengenal dan Mengelola Depresi Persisten dengan Gejala Utama Keluhan Fisik

01.50

Pengantar

Depresi persisten (Persistent Depressive Disorder, PDD) atau yang dikenal dengan istilah dysthymia adalah gangguan mood kronis yang memiliki dampak signifikan pada kesejahteraan fisik dan emosional seseorang. Dalam beberapa kasus, gejala utama dari depresi ini muncul dalam bentuk keluhan fisik, selain tentunya klien sering memiliki pikiran negative serta relasi sosial yang buruk.

Seorang Klien mengeluhkan dirinya yang terus menerus dibully, diremehkan oleh sejawatnya. Ia selalu lesu, mudah lelah, tidur tidak berkualitas, tidak berselera makan. Keluhan fisik dan relasi sosial yang sangat buruk, sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Hubungan sosial sangat buruk, disadari sejak kecil, Ia bahkan cenderung curiga pada orang lain, tidak merasa mendapatkan kasih sayang yang memadai dari orang tua, sangat berjarak dengan saudara kandung dan tentu saja mengalami konflik batin saat tertarik pada hubungan lawan jenis. Klien bahkan kurang “aware” terhadap tubuhnya, tidak mindful (berkesadaran), pikiran negative dan emosi yang cenderung sangat depresif. 

Walaupun cenderung curiga pada orang lain, saya bersyukur ia sangat kooperatif dan menyadari bahwa hidupnya perlu berubah. Saya sangat mengapresiasi, klien yang satu ini. Dengan semangat ini, ia berhasil melewati fase psikoterapi integratif dalam 8 sesi dengan hasil yang memuaskan. Terapi Integratif menggabungkan antara CBT, Psikodinamik, EFT dan Solution Focus Therapy. Ia cukup konsistem melakukan Latihan meditasi mindfulness dan mengerjakan jurnaling. 

Artikel ini akan mengkaji lebih dalam tentang depresi persisten, dengan fokus pada kategorisasi berdasarkan DSM V, prevalensi, dinamika yang terjadi pada klien Depresi, serta terapi berbasis bukti yang banyak digunakan untuk mengatasi kondisi ini. Tidak semua Klien memiliki karakteristik yang sama dengan penjelasan dalam artikel ini. 

 

Pengertian Depresi Persisten (PDD)

Depresi persisten merupakan bentuk depresi kronis yang berlangsung selama setidaknya dua tahun pada orang dewasa (atau satu tahun pada anak-anak dan remaja). Berbeda dengan depresi mayor, gejala PDD sering kali tidak seberat  Depresi Mayor tetapi tetap berlangsung lebih lama. Keluhan fisik yang terjadi, seperti nyeri tubuh, kelelahan, atau gangguan pencernaan, sering kali menjadi manifestasi utama dari penderitaan psikologis seseorang.

 

Gejala Psikologis pada Depresi

  1. Gejala Pikiran (Kognitif)
    • Pikiran negatif tentang diri, dunia, dan masa depan (Cognitive Triad): Dalam depresi, individu sering kali terjebak dalam pola pikir negatif yang berulang, seperti perasaan tidak berharga, pesimisme tentang masa depan, dan interpretasi negatif tentang situasi sehari-hari.
    • Kesulitan konsentrasi dan membuat keputusan: Orang dengan depresi sering merasa sulit untuk fokus atau membuat keputusan, bahkan dalam hal-hal kecil.
    • Ruminasi: Individu sering merenungkan secara berlebihan hal-hal negatif atau kesalahan di masa lalu, yang menghambat kemampuan mereka untuk melangkah maju.
    • Penurunan motivasi: Mereka merasa sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari atau mencapai tujuan.
  2. Gejala Emosi (Affect)
    • Perasaan sedih atau hampa: Kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan, atau perasaan hampa tanpa adanya emosi apapun, adalah salah satu ciri utama depresi.
    • Iritabilitas atau kemarahan: Meski kesedihan adalah tanda klasik, banyak orang dengan depresi juga menunjukkan kemarahan atau iritabilitas yang meningkat, terutama pada pria.
    • Perasaan bersalah atau tidak berharga: Depresi sering kali disertai dengan rasa bersalah yang berlebihan, perasaan tidak berguna, atau menganggap diri sebagai beban bagi orang lain.
    • Anhedonia (hilangnya minat atau kesenangan): Individu kehilangan minat atau kesenangan dalam kegiatan yang sebelumnya mereka nikmati.
  3. Gejala Perilaku
    • Penarikan diri sosial: Orang dengan depresi cenderung mengisolasi diri dari teman, keluarga, atau kegiatan sosial yang biasanya mereka ikuti.
    • Perubahan pola tidur: Ini bisa berupa insomnia (kesulitan tidur) atau hipersomnia (terlalu banyak tidur).
    • Perubahan pola makan: Gejala ini bisa berupa kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan yang menyebabkan perubahan berat badan yang signifikan.
    • Perilaku lambat (psikomotor retardation) atau gelisah (agitation): Gerakan dan aktivitas dapat menjadi sangat lambat, atau pada beberapa kasus, individu mungkin merasa sangat gelisah.

4.      Gejala Fisik

Pada banyak kasus, depresi tidak hanya menampilkan gejala-gejala psikologis, emosional, serta prilaku, tetapi juga gejala somatik atau fisik. Ini sering kali termasuk:

·       Nyeri kronis tanpa sebab medis yang jelas.

·       Kelelahan atau kehilangan energi yang berkelanjutan.

·       Masalah tidur seperti insomnia atau hipersomnia.

·       Gangguan pencernaan, seperti sindrom iritasi usus besar (IBS).

·       Masalah nafsu makan atau berat badan yang fluktuatif.

 

Banyak pasien merasa lebih mudah mengeluhkan gejala fisik dibandingkan gejala emosional, yang menyebabkan kondisi ini sering kali tidak terdiagnosis sebagai gangguan depresi.

 

 

Kategori Berdasarkan DSM-5

Menurut DSM-5 (Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, edisi ke-5), depresi persisten (PDD) digolongkan sebagai gangguan mood yang memiliki kriteria diagnostik sebagai berikut:

  • Suasana hati depresi hampir sepanjang hari, berlangsung selama setidaknya dua tahun.
  • Kehadiran dua atau lebih dari gejala berikut: nafsu makan yang buruk atau makan berlebihan, insomnia atau tidur berlebihan, energi yang rendah atau kelelahan, harga diri yang rendah, konsentrasi yang buruk atau sulit membuat keputusan, dan perasaan putus asa.
  • Pada anak-anak dan remaja, suasana hati bisa berupa iritabilitas, dan durasi minimal adalah satu tahun.

 

Prevalensi Kasus

Studi epidemiologis menunjukkan bahwa prevalensi PDD di populasi umum berkisar antara 2% hingga 5%, dengan prevalensi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Kondisi ini sering kali muncul lebih awal dalam kehidupan dan bisa berlangsung selama bertahun-tahun jika tidak ditangani. Ketika PDD disertai dengan gejala fisik, diagnosisnya sering lebih sulit dan sering terjadi misdiagnosis.

Dinamika Kasus 

Fredric Busch dalam "The Psychodynamic Treatment of Depression" berfokus pada pendekatan psikodinamik dalam memahami depresi, terutama distimia. Pendekatan ini menekankan pentingnya konflik bawah sadar, pola hubungan yang disfungsional, dan peran trauma masa lalu dalam membentuk gejala-gejala depresi. Berikut adalah dinamika psikologis yang biasa terjadi pada pasien depresi:

 

a.Konflik Intrapsikis

 

Pasien depresi sering kali mengalami konflik batin yang mendalam antara keinginan untuk mendapatkan cinta, perhatian, dan validasi dari orang lain dengan rasa takut ditolak atau disakiti. Mereka sering merasa bahwa mereka tidak layak dicintai, yang menyebabkan mereka menarik diri dari hubungan atau merasa cemas berlebihan terhadap penolakan.

 

b. Internalisasi Kemarahan

Pasien depresi kerap memiliki kecenderungan untuk menginternalisasi perasaan marah atau frustrasi terhadap diri sendiri, alih-alih mengekspresikan kemarahan tersebut ke luar. Dalam pandangan psikodinamik, depresi dapat dianggap sebagai "kemarahan yang dibalikkan ke dalam diri," di mana pasien tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara sehat dan akhirnya memunculkan perasaan bersalah, malu, dan tidak berharga. Akumulasi perasaan negatif ini mengarah pada mood yang rendah secara kronis dan keyakinan bahwa mereka pantas mengalami penderitaan.

 

c. Rasa Bersalah dan Malu

Rasa bersalah dan malu adalah tema umum dalam dinamika psikologis pasien depresi. Perasaan ini sering muncul dari pengalaman masa lalu, seperti trauma emosional atau pengalaman gagal dalam memenuhi harapan orang tua atau figur otoritas. Depresi menjadi cara di mana pasien memelihara perasaan bahwa mereka tidak pernah "cukup baik," yang mempertahankan keadaan mood rendah secara kronis.

 

d. Keterikatan Tidak Aman dan Pola Relasi

Pasien depresi persisten sering kali memiliki keterikatan emosional yang tidak aman dalam hubungan interpersonal. Mereka mungkin mengalami hubungan di masa lalu yang tidak stabil atau tidak konsisten, baik dengan orang tua atau pasangan. Ketidakamanan ini memicu kecenderungan untuk mencari penguatan dari luar, tetapi pada saat yang sama takut akan pengabaian. Perasaan kesepian dan penolakan dalam hubungan sering memperparah gejala depresi, khususnya jika pola-pola relasi disfungsional ini berulang dari satu hubungan ke hubungan lainnya.

 

e. Regulasi Diri yang Lemah

Busch juga menekankan bahwa pasien dengan depresi persisten memiliki kesulitan besar dalam mengatur emosi mereka. Mereka mungkin tidak mampu menangani stres atau situasi emosional yang intens dengan cara yang adaptif, sehingga perasaan negatif bertahan lebih lama dan mengarah pada suasana hati yang kronis dan tertekan. Ketidakmampuan ini sering kali berhubungan dengan rendahnya harga diri serta citra diri yang buruk.

 

Dalam "Dysthymia and the Spectrum of Chronic Depressions," Hagop Akiskal dan Giovanni Cassano mengeksplorasi distimia sebagai bagian dari spektrum yang lebih luas dari depresi kronis, menggabungkan faktor-faktor genetik, biologis, dan psikososial dalam memahami bagaimana kondisi ini terbentuk dan berlanjut. 

·       Kepribadian depresif yang cenderung pesimis, menarik diri, dan memiliki pandangan hidup yang negatif. Pasien dengan kepribadian ini sering kali menafsirkan situasi hidup dengan cara yang merugikan diri mereka sendiri. Mereka cenderung menganggap kegagalan sebagai sesuatu yang melekat pada diri mereka, bukan hasil dari keadaan eksternal. Kepribadian ini memperparah kecenderungan depresi yang berkepanjangan dan sulit diobati karena pasien sudah memiliki pola berpikir yang disfungsional.

·       Dalam banyak kasus, pasien dengan distimia dapat mengalami episode depresi mayor yang lebih berat (double depression). Dinamika psikologis dari kondisi ini lebih kompleks karena mereka mengalami mood rendah yang terus-menerus, disertai dengan ledakan intens dari gejala depresi yang lebih parah.

·       Pasien dengan distimia sering kali menunjukkan resistensi terhadap perubahan. Karena kondisi mereka telah berlangsung lama, mereka mungkin merasa sulit untuk percaya bahwa hidup mereka bisa lebih baik, bahkan ketika ditawarkan terapi atau intervensi.

·       Klien Depresi seringkali mengalami kesulitan membangun hubungan yang sehat karena umumnya mereka  mempertahankan emosi berikut: 

·  Rasa Keterasingan: Pasien depresi sering merasa terasing secara emosional dari orang-orang di sekitar mereka, meskipun mereka mungkin memiliki dukungan sosial.

· Ketergantungan Emosional: Pasien depresi mungkin menunjukkan ketergantungan yang berlebihan pada satu atau dua hubungan penting, dengan perasaan bahwa mereka tidak dapat hidup tanpa orang tersebut. Namun, hal ini juga disertai dengan ketakutan mendalam akan penolakan.

 

 

Evidence-based Therapy untuk Depresi Persisten dengan Gejala Fisik

 

Berbagai pendekatan terapi berbasis bukti telah digunakan untuk menangani PDD, termasuk yang menampilkan gejala fisik. Beberapa metode yang efektif meliputi:


1.     Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

CBT adalah salah satu terapi yang paling banyak digunakan untuk depresi persisten. Pendekatan ini membantu pasien mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku yang berkontribusi pada gejala depresi. Pada pasien dengan gejala fisik, CBT dapat membantu mengelola interpretasi negatif terhadap sensasi tubuh mereka dan mengurangi kekhawatiran berlebihan tentang gejala tersebut.

 

2.     TerapiPsikodinamik
 Pendekatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi konflik emosional dan hubungan yang tidak disadari yang dapat memicu atau mempertahankan gejala depresi. Fokusnya adalah memahami penyebab bawah sadar dari gejala fisik dan emosi.

 

3.     Terapi Farmakologis (Antidepresan)


Antidepresan seperti Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) dan Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI) sering kali diberikan untuk membantu mengelola gejala depresi, terutama bila dikombinasikan dengan terapi psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan keluhan somatik juga sering mendapatkan manfaat dari obat-obatan ini. Pendekatan medikasi ini tidak termasuk pengobatan fisik untuk keluhan fisik yang nyara. 

 

4.     Acceptance and Commitment Therapy (ACT)


ACT menekankan pada penerimaan pengalaman emosional dan fisik negatif, serta komitmen untuk berfokus pada nilai-nilai hidup yang berarti, meskipun ada gejala depresi. Ini sangat bermanfaat bagi pasien dengan keluhan fisik yang kronis.

5.     Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT)


MBCT adalah pendekatan yang mengombinasikan teknik CBT dengan meditasi berbasis kesadaran untuk membantu pasien mengatasi kecemasan, nyeri, dan gejala depresi. MBCT telah terbukti efektif dalam mengurangi kambuhnya depresi, termasuk yang berkaitan dengan keluhan fisik.

Penutup

Depresi persisten terutama dengan gejala fisik merupakan kondisi yang menantang baik dari segi diagnosis maupun penanganan. Pemahaman yang mendalam mengenai kaitan antara aspek fisik dan psikologis dari kondisi ini, serta penggunaan pendekatan terapi berbasis bukti, dapat membantu pasien mendapatkan perbaikan yang signifikan. Sebagai profesional psikoterapi integratif, penting untuk terus memperbarui pengetahuan tentang terapi yang efektif, serta memahami kebutuhan individual pasien dalam konteks gejala fisik dan emosional mereka.

Referensi Pendukung

 

  • "Cognitive Therapy of Depression" oleh Aaron T. Beck.
  • "Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression" oleh Segal, Williams, dan Teasdale 
  • "Dysthymia and the Spectrum of Chronic Depressions" oleh Hagop S. Akiskal dan Giovanni Cassano 
  • "The Psychodynamic Treatment of Depression" oleh Fredric N. Busch

 Sumber Photo by Hayley Murray on Unsplash

You Might Also Like

0 comments

Subscribe